
Judul: Widyaiswara Menapak di Era Digital
Penulis: Lintang Suharto Rivai
Penyunting: Budiman
Terbit: November 2007
Penerbit: Penerbit Buku Ilmiah Populer - PT Sarana Komunikasi Utama
Tebal: xi + 160 halaman
Ketika membaca buku ini Anda bisa bertukar pengalaman dengan penulisnya mengenai banyak hal mengenai dunia widyaiswara. Sebut saja mulai dari tantangan di era teknologi komunikasi dan informasi, kesepakatan global menuju 2015, good governance, hingga menuju widyaiswara yang profesional.
Kemampuan penulis dalam buku ini pun tidak diragukan lagi. Bukan apa-apa, ia juga pernah menduduki jabatan penting dalam bidang teknologi informasi di berbagai instansi pemerintah. Di antaranya sebagai Staf Ahli Menteri Negara Komunikasi dan Informasi, Deputi Bidang Pengelolaan Informasi di Lembaga Informasi Nasional (LIN), Tenaga Ahli Menteri Bidang Teknologi Informasi di Departemen Komunikasi dan Informatika, serta yang dijalaninya kini sebagai Widyaiswara Utama.
Seperti diketahui, globalisasi telah menjadi bahan pembicaraan sejak tahun 1990 di kalangan ilmuwan barat. Revolusi teknologi informasi dan komunikasi (ICT) membuat dunia ini semakin kecil dan kian terintegrasi. Revolusi digital telah membuat terobosan di bidang komunikasi, menggantikan sistem transmisi analog dengan digital, menghasilkan komunikasi yang lebih jernih pada jarak yang lebih jauh, dan biaya yang lebih murah.
Internet sebagai hasil revolusi teknologi memungkinkan transfer data secara cepat dan efisien pada skala global. Lalu bagaimana Indonesia menyikapinya? Tampaknya sumber daya aparatur belum sepenuhnya menyadari betapa hebatnya pengaruh ICT yang menyebabkan perubahan paradigma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Belum timbul awareness bagaimana kita harus bersikap, bagaimana kita harus melayani masyarakat.
Pola Tradisional
Sementara itu, Resolusi Hak Asasi Manusia dengan Pasal 19-nya telah memaksa pemerintah di mana pun di bumi ini untuk membuka informasi yang menjadi hak publik. Namun apa daya, aparatur masih berjalan dengan pola tradisional, rapat dengan bertatap muka setiap saat, berjam-jam antri menunggu giliran untuk mendapatkan pelayanan publik. Ada yang salah di negeri ini, sumber daya aparatur yang tidak peka terhadap perubahan paradigma.
Selama 1 tahun 9 bulan menjadi widyaiswara, penulis mendapatkan berbagai pengalaman dalam dunia kewidyaiswaraan. Bagaimana seorang widyaiswara yang seharusnya berpengetahuan luas, profesional, dan sangat kompeten di bidangnya dapat memperoleh semua itu jika mereka tak memiliki ruang kerja, prasarana, dan sarana kerja?
Bagaimana seorang widyaiswara dapat mengajarkan dan melatih seseorang menjadi melek informasi, manakala dirinya sendiri masih buta? Bagaimana pendidikan dan pelatihan kepemimpinan dapat menghasilkan calon pemimpin yang siap mengendalikan e-government, apabila semua mata ajar hanya merupakan dongeng penunggu waktu rehat saja?
Profesi widyaiswara memang laksana pisau bermata dua. Bagi sekelompok orang, widyaiswara merupakan profesi yang terhormat karena peran mereka menghantarkan informasi kepada anak didik melalui pengajaran. Namun bagi sebagian orang, menjadi widyaiswara seperti akhir dari kariernya sebagai abdi negara. Seolah-seolah jabatan tersebut merupakan tempat pembuangan pegawai negeri sipil (PNS) yang dianggap tak berguna.
Pro-kontra semacam itu tak perlu dibesar-besarkan. Bukankah di era digital ini pengajar dan pelatih, termasuk widyaiswara, memiliki peran yang tak kalah pentingnya? Jelas bahwa pendidikan dan pelatihan masa kini haruslah berorientasi pada information literacy (melek informasi) untuk menjawab berbagai persoalan global.
Di sinilah peran widyaiswara agar bisa bisa membukakan informasi yang bertebaran di jagat maya. Dan di buku ini, penulis memaparkan berbagai kiat dalam menghadapi era digital yang sedemikian majunya.
Menciptakan "Awareness"
Dr Moedjiono, MSc, Staf Ahli Bidang Hubungan Internasional dan Kesenjangan Digital, Departemen Komunikasi dan Informatika menyambut positif terbitnya buku ini. Menurutnya, buku ini sangat membantu pihaknya dalam menyosialisasikan perkembangan teknologi infomasi dan komunikasi (ICT), meningkatkan information literacy, dan menciptakan awareness khususnya bagi para pegawai negeri sipil.
Sementara itu, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi, Lembaga Administrasi Negara Prof Dr J Basuki, MSi menambahkan, perkembangan ICT sangat mempengaruhi pola kehidupan sosial yang tentunya harus diikuti oleh kesiapan pegawai negeri sipil sebagai pelayan masyarakat.
Dengan terbitnya buku ini, kata Basuki, bisa menambah referensi tentang perkembangan ICT yang berpengaruh pada penciptaan SDM aparatur dan bermanfaat bagi perkembangan Diklat sebagai organisasi pembelajar, dan widyaiswara sebagai manusia pembelajar. [SP/Rina Ginting]
Sumber: http://www.suarapembaruan.com/News/2007/11/18/Buku/buku01.htm
MyBlog ARDA DINATA:
Dunia Kesehatan Lingkungan: http://arda-dinata.blogspot.com
Dunia Inspirasi & Motivasi Hidup: http://miqra.blogspot.com
Dunia Penulis Sukses: http://ardapenulis.blogspot.com
Penulis: Lintang Suharto Rivai
Penyunting: Budiman
Terbit: November 2007
Penerbit: Penerbit Buku Ilmiah Populer - PT Sarana Komunikasi Utama
Tebal: xi + 160 halaman
Ketika membaca buku ini Anda bisa bertukar pengalaman dengan penulisnya mengenai banyak hal mengenai dunia widyaiswara. Sebut saja mulai dari tantangan di era teknologi komunikasi dan informasi, kesepakatan global menuju 2015, good governance, hingga menuju widyaiswara yang profesional.
Kemampuan penulis dalam buku ini pun tidak diragukan lagi. Bukan apa-apa, ia juga pernah menduduki jabatan penting dalam bidang teknologi informasi di berbagai instansi pemerintah. Di antaranya sebagai Staf Ahli Menteri Negara Komunikasi dan Informasi, Deputi Bidang Pengelolaan Informasi di Lembaga Informasi Nasional (LIN), Tenaga Ahli Menteri Bidang Teknologi Informasi di Departemen Komunikasi dan Informatika, serta yang dijalaninya kini sebagai Widyaiswara Utama.
Seperti diketahui, globalisasi telah menjadi bahan pembicaraan sejak tahun 1990 di kalangan ilmuwan barat. Revolusi teknologi informasi dan komunikasi (ICT) membuat dunia ini semakin kecil dan kian terintegrasi. Revolusi digital telah membuat terobosan di bidang komunikasi, menggantikan sistem transmisi analog dengan digital, menghasilkan komunikasi yang lebih jernih pada jarak yang lebih jauh, dan biaya yang lebih murah.
Internet sebagai hasil revolusi teknologi memungkinkan transfer data secara cepat dan efisien pada skala global. Lalu bagaimana Indonesia menyikapinya? Tampaknya sumber daya aparatur belum sepenuhnya menyadari betapa hebatnya pengaruh ICT yang menyebabkan perubahan paradigma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Belum timbul awareness bagaimana kita harus bersikap, bagaimana kita harus melayani masyarakat.
Pola Tradisional
Sementara itu, Resolusi Hak Asasi Manusia dengan Pasal 19-nya telah memaksa pemerintah di mana pun di bumi ini untuk membuka informasi yang menjadi hak publik. Namun apa daya, aparatur masih berjalan dengan pola tradisional, rapat dengan bertatap muka setiap saat, berjam-jam antri menunggu giliran untuk mendapatkan pelayanan publik. Ada yang salah di negeri ini, sumber daya aparatur yang tidak peka terhadap perubahan paradigma.
Selama 1 tahun 9 bulan menjadi widyaiswara, penulis mendapatkan berbagai pengalaman dalam dunia kewidyaiswaraan. Bagaimana seorang widyaiswara yang seharusnya berpengetahuan luas, profesional, dan sangat kompeten di bidangnya dapat memperoleh semua itu jika mereka tak memiliki ruang kerja, prasarana, dan sarana kerja?
Bagaimana seorang widyaiswara dapat mengajarkan dan melatih seseorang menjadi melek informasi, manakala dirinya sendiri masih buta? Bagaimana pendidikan dan pelatihan kepemimpinan dapat menghasilkan calon pemimpin yang siap mengendalikan e-government, apabila semua mata ajar hanya merupakan dongeng penunggu waktu rehat saja?
Profesi widyaiswara memang laksana pisau bermata dua. Bagi sekelompok orang, widyaiswara merupakan profesi yang terhormat karena peran mereka menghantarkan informasi kepada anak didik melalui pengajaran. Namun bagi sebagian orang, menjadi widyaiswara seperti akhir dari kariernya sebagai abdi negara. Seolah-seolah jabatan tersebut merupakan tempat pembuangan pegawai negeri sipil (PNS) yang dianggap tak berguna.
Pro-kontra semacam itu tak perlu dibesar-besarkan. Bukankah di era digital ini pengajar dan pelatih, termasuk widyaiswara, memiliki peran yang tak kalah pentingnya? Jelas bahwa pendidikan dan pelatihan masa kini haruslah berorientasi pada information literacy (melek informasi) untuk menjawab berbagai persoalan global.
Di sinilah peran widyaiswara agar bisa bisa membukakan informasi yang bertebaran di jagat maya. Dan di buku ini, penulis memaparkan berbagai kiat dalam menghadapi era digital yang sedemikian majunya.
Menciptakan "Awareness"
Dr Moedjiono, MSc, Staf Ahli Bidang Hubungan Internasional dan Kesenjangan Digital, Departemen Komunikasi dan Informatika menyambut positif terbitnya buku ini. Menurutnya, buku ini sangat membantu pihaknya dalam menyosialisasikan perkembangan teknologi infomasi dan komunikasi (ICT), meningkatkan information literacy, dan menciptakan awareness khususnya bagi para pegawai negeri sipil.
Sementara itu, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi, Lembaga Administrasi Negara Prof Dr J Basuki, MSi menambahkan, perkembangan ICT sangat mempengaruhi pola kehidupan sosial yang tentunya harus diikuti oleh kesiapan pegawai negeri sipil sebagai pelayan masyarakat.
Dengan terbitnya buku ini, kata Basuki, bisa menambah referensi tentang perkembangan ICT yang berpengaruh pada penciptaan SDM aparatur dan bermanfaat bagi perkembangan Diklat sebagai organisasi pembelajar, dan widyaiswara sebagai manusia pembelajar. [SP/Rina Ginting]
Sumber: http://www.suarapembaruan.com/News/2007/11/18/Buku/buku01.htm
MyBlog ARDA DINATA:
Dunia Kesehatan Lingkungan: http://arda-dinata.blogspot.com
Dunia Inspirasi & Motivasi Hidup: http://miqra.blogspot.com
Dunia Penulis Sukses: http://ardapenulis.blogspot.com
No comments:
Post a Comment